28 Oktober 2016

Sumpah

Pertama kali saya mengenal kata sumpah dalam arti yang agak konseptual adalah ketika saya duduk di bangku pesantren. Sebelumnya ada sih, tapi sumpah sumpahan. Seperti, sumpah ditembak patuih (petir). Dalam bahasa Arab, terdapat tiga huruf yang dapat digunakan untuk bersumpah, waw, baa, dan taa yang kemudian disebut huruf qasam, contohnya wallahi yang artinya demi Allah. Semenjak itu, karena sumpah melibatkan suatu yang transcendental maka bagi saya sumpah bukanlah kata sembarangan yang dapat dipermainkan begitu saja, layaknya kata sumpeh lo atau swear deh yang pernah populer di kalangan pemuda-pemudi yang memiliki genre blues. Demikian, bagi saya sumpah memiliki sakralitas dan tujuan tertentu.

Cita rasa itu sampai hari ini belum dapat saya hilangkan, begitu juga ketika mendengar kata-kata sumpah pemuda. Saya membayangkan bahwa keputusan yang disepakati pada kongres pemuda II ini bukanlah keputusan main-main, seperti keputusan Majelis Ulama Indonesia yang kemaren itu loh kisanak. Mengapa tidak? Demi sebuah cita-cita yang agung, kata-kata sumpah terpaksa digunakan. Pemuda Indonesia mesti diikat dengan sebuah pernyataan yang kokoh seperti kokohnya gedung MPR-RI dan gedung pemerintahan lainnya, biar kesannya tidak asal-asalan. Di titik ini menurut saya sumpah itu bertujuan untuk meyakinkan orang dengan ucapan. Oleh sebab itu, selama orang lain masih percaya dengan ucapan kita, sumpah tidak diperlukan.

Dalam kajian balaghah, pun saya temukan bahwa sumpah merupakan upaya terakhir untuk meyakinkan orang dengan kata-kata. Urutannya kira-kira begini, “aku rela mati untukmu”, “masa sih Uda?”, “iya, sungguh aku rela mati untukmu”, ternyata si do’i masih tidak percaya, maka sebagai upaya terakhir di sini perlu ditambahkan kata-kata sumpah “demi Tuhan, aku sungguh rela mati untukmu bebeb(k)”. Kalau sudah begini, ternyata dia masih tidak percaya maka buktikan dengan perbuatan, anda tinggal lompat ke jurang dan selesai, “sampai jumpa di surga”. Berarti kata-kata anda bagi si do’i sudah mencapai level bullshit.

Barangkali di sini lah letak pentingnya sumpah ketika itu bagi uda Yamin yang pecinya agak miring. “Sumpah” menjadi alternatif terakhir untuk dideklarasikan, ini perlu dan penting. Ketika saya lacak literatur ternyata ada bukti yang menguatkan asumsi ini, bahwa telah terjadi perundingan yang alot sebelum uda Yamin mengajukan formulasi ini dalam secarik kertas kepada Soegondo. Hingga pada akhirnya rumusan yang elegan ini disepakati bersama setelah uda Yamin menjelaskan panjang lebar. Itu dia, satu nusa, satu bangsa, satu bahasa yang dikultuskan menjadi “sumpah pemuda”. Ternyata uda Yamin dan kawan-kawan telah beranggapan bahwa generasi muda memang memiliki peranan yang penting.

Itu dulu, terkadang akan sangat dilematis ketika kita harus membandingkan dulu dengan sekarang. Sama seperti membandingkan Muhammad dan Jokowi, bagi yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad yang pantas memimpin Indonesia saat ini. Pasalnya jelas konteks kultural dan sosio-politis sudah jauh berbeda. Jadi, saya sangsi bahwa spirit uda Yamin dan kawan-kawan juga bersemayam dalam jiwa generasi muda hari ini. Jangankan untuk menanyakan bagaimana pendapat mereka tentang sumpah pemuda, ketika ditanya kapan diperingati saja sudah banyak yang tidak tahu. Kalau tidak percaya monggo ditanyakan bagi yang muda di sekitarmu vroh.!! Mudah-mudahan tidak sama dengan beberapa orang teman yang saya tanyakan. Amin..!

Meskipun demikian, di sini saya tidak menyalahkan generasi muda. Bagi saya, sebenarnya tidak penting juga untuk mengingat hari sumpah pemuda ini. Apalagi untuk mengucapkannya kembali dengan suara lantang. Justru akan lebih menjadi soal jika diikrarkan lalu tidak dikerjakan. Itu dia bullshit tadi. Kalau kata Titiek Puspa dalam sebuah lagunya “kau yang berjanji kau yang mengingkari”. Lagian kita memang satu bangsa kan vroh. Meskipun berbeda-beda kita tetap berada dalam satu nusa, nusa-antara. Dari pulau sini ke pulau sana sepertinya kita tidak mengalami hambatan yang berarti, kecuali kendala asap dan fulus. Kalau persoalan bahasa Slang mah tidak begitu menjadi persoalan. Meskipun di media sosial kita sering menggunakan bahasa yang gak Endonesyah banget, tapi di ranah formal kita tetap memakai bahasa yang baku. Tidak mungkin juga kita nulis surat sama Jokowi dengan menggunakan kata-kata vroh (akronim dari brother), miapah (demi apa), atau kezel (kesal).

Di sisi lain, di negeri kita sumpah itu sudah latah. Lihat saja bagaimana pejabat-pejabat kita mengucapkan sumpah jabatan! begitu mantap dan tegap, pakai al-Quran segala. Lalu kemudian lihat juga apa yang mereka lakukan! Maka anda akan menemukan bahwa puisi Gus Mus itu benar adanya, “di negeri amplop, amplop-amplop mengamplopi siapa saja dan apa saja”. Jika anda ingin data yang lebih lengkap lihat data Komisi Pembarantasan Korupsi (KPK). Belum lagi kalau harus menyoal sumpah setia, sumpah sehidup semati, dan sumpah-sumpah aneh lainnya. Jangan-jangan negeri ini banyak bencana karena Tuhan merasa bosan melihat tingkah kita yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa (mendadak Ebiet G. Ade). Sebab begitu banyak kata yang tidak kita laksanakan.

Menyongsong sumpah pemuda tahun ini, ada baiknya kita berdoa saja buat penggagas sumpah pemuda, semoga jasa mereka dibalasi oleh Tuhan Yang Maha Esa. Biarkan ini menjadi ingatan kolektif kita, bahwa dulu pernah ada keputusan yang tidak bisa lagi kita laksanakan. Dengan alasan bahwa kita tidak mau lagi naïf menghadapi bangsa sendiri. Cukuplah kita pakai jargon “Silent is better than bullshit”. Jadi Maaf Uda Yamin, Pak Soegondo dan kawan-kawan, kami hanya ingin jujur dan sederhana.[]

22 Oktober 2016

Suatu Kepulangan

Pagi yang lindung, memulangkan kau dengan jemawa. 
Bahu tegap, kening mengkilat, senyum lebar.
Kau telah kembali Tuan, kembali bak pahlawan.
Berhasil meretas jalan setapak yang dulu hijau.
Kini, “pulang” adalah riwayat yang mesti ditempuh.
Sejak dulu, dendammu begitu hangat, sebab hinaan di dadamu senantiasa segar.
Jika diselidiki dari kilat keningmu, kusimpulkan segala pedih mesti dibeli, mulut yang pedas mesti dikerat. 

Demikian, pulang tidak melulu menghela kerinduan.
Ibumu bangga Tuan, karena mobil yang kau sewa kali ini sudah menciutkan mereka yang pongah.

Yogyakarta.

2 Agustus 2016

Lawan

Merpati tua menelan cacing.
Ia memberontak, melawan, tanpa sedikitpun memelas.
Aku hanya tak ingin matiku dalam kepasrahan, gumamnya lagi.
Merpati hanyalah hasrat, merpati hanyalah dengki.
Lalu aku, aku si kerdil ini bukanlah mangsa keserakahan.

Yogyakarta, 2 Agustus 2016

22 Juni 2016

Nuzul Al-Quran di Tengah Ironi Kemanusiaan

Sebelum berangkat lebih jauh membicarakan nuzul al-Quran sebagai dirgahayu diturunkannya al-Quran, yang katanya diturunkan di lauhul mahfuz pada 17 Ramadhan, kemudian disampaikan oleh malaikat Jibril secara berangsur-angsur kepada nabi Muhammad selama masa kerasulannya, barangkali ada sebuah pertanyaan yang mesti diajukan, “Mengapa nuzul al-Quran itu diperingati?”
Dalam hajatan nuzul al-Qur’an tersebut, sering kita temui berbagai acara perlombaan, seperti Musabaqah Tilawatil QuranMusabaqah Syarhil QuranMusabaqah Fahmil Quran, dan Musabaqah bla-bla al-Quran lainnya. Dalam hal ini, sepertinya benar apa yang disampaikan W. Graham (1993) bahwa al-Quran adalah spoken word. Di antara kitab-kitab suci yang ada, hanya al-Quranlah yang dilantunkan, didayukan dan didendangkan oleh pemeluk agama, sehingga al-Quran tersebut hidup di tengah masyarakat muslim dengan budaya oral (terucap).
Namun, untuk menjawab pertanyaan di atas agaknya kita memerlukan cara pandang lain, agar peringatan nuzul al-Quran tak melulu soal euforia.
Al-Qu’ran sebagai Kitab Rahmat

Islam diturunkan di tengah ironi kemanusiaan, bahasa populernya Jahiliyyah. Budaya manusia di tanah Arab ketika itu katanya ala rimba, anak perempuan aja dikubur hidup-hidup lantaran malu. Hadirnya Islam adalah rahmat. Muhammad adalah Rasul rahmat. Al-Quran pun adalah kitab rahmat. Jadi Islam adalah agama kasih sayang. Dalam hal ini, dapat dikatakan Muhammad dan al-Quran instrumen yang akan mengantarkan manusia kepada realitas yang penuh kasih sayang.
Ironisnya sekarang –bagi sebagian kalangan- al-Quran justru ditafsirkan dengan otoritatif, sehingga merusak rahmat dari al-Quran itu sendiri. Ada juga yang mengatakan al-Quran adalah kitab hukum maka dengan dalih al-Quran, logika hitam putih pun dipaksakan, karenanya terjadilah budaya bar-bar di tengah kehidupan manusia. Atas nama agama pembunuhan dan kekerasan berseliweran dimana-mana, sekadar contoh, liat konflik agama di Sampang, Madura. Bahkan yang lebih tragis lagi, MUI juga ikut serta melegitimasi perbuatan tersebut. Seolah-olah Islam miliknya saja. Menurut saya, hal ini terjadi hanya karena “mereka” lupa. Lupa kalau Islam itu rahmat.
Dalam rangka melawan lupa, rahmat al-Quran tersebut mesti dilestarikan dengan senantiasa melakukan upaya-upaya mengingat, hari ini dan di sini. Mestinya ia tidak hanya diperingati dengan musabaqah yang sifatnya seremonial. Sehingga nuzul al-Quran tidak miskin nilai.
Memang, tak dapat dipungkiri bahwa dengan musabaqah, al-Quran senantiasa hidup. Saya sepakat dengan amat dan teramat. Namun, pertanyaannya adalah, tak perlukah kita berpikir untuk keluar dari kemapanan yang telah memenjarakan cara kita dalam memperlakukan al-Quran? Pertanyaan ini bukan untuk menghakimi, apalagi menyalahkan budaya oral umat muslim terhadap al-Quran. Budaya yang demikian justru adalah keistimewaan bagi umat muslim yang masih tetap mempertahankan budaya oral terhadap al-Quran. Hanya saja, dengan pola peringatan demikian, sudah sejauh mana nuzul al-Quran mengingatkan kita tentang kerahmatan al-Quran? Bukankah memperingati bertujuan untuk mengingatkan?
Takutnya begini, jangan-jangan kita hari ini beranggapan budaya jahiliyyah sudah tak ada, sudah habis sama sekali. Kekerasan sudah tidak ada, diskriminasi sudah tidak ada. Ketidakadilan sudah hilang di muka bumi. Rakyat sudah hidup dalam kesejahteraan, ketenteraman tanpa ada kemiskinan dan penderitaan. Sehingga tak perlu lagi mengingat mengapa al-Quran diturunkan.
Jika demikian, saya coba ngacung jari deh. Saya usul peringatan nuzul al-Quran dilakukan dengan merenung saja, jungkir balik, smack down, atau apa pun juga boleh, yang penting ngingetin. Habis tarawih kita beraktifitas sampai pagi, tentunya dalam rangka mengingat bahwa al-Quran adalah rahmatan lil alamin. Mana tau nanti dapat Lailatul Qadar.
Mudah-mudahan, dengan demikian di nusantara yang tercinta dunia akhirat ini, tidak akan ada lagi batasan identitas, apalagi kekerasan baik fisik atau simbolik berdasarkan ras, suku, dan agama. Karena dengan “mengingat” seluruh bangsa bisa paham bahwa al-Quran adalah rahmatan lil alamin, bukan rahmatan lil musliminlin nahdiyinlimuhammadiyyinli sekuleriyyinliliberaliyyin dan bagi kelompok-kelompok yang lain seperti littarbiyyin. Tapi syaratnya, seluruh bangsa mesti begitu. Wah, Utopis sekali.
Ya Sudahlah, saya tidak mengharapkan perubahan apa-apa dengan tulisan ini. Yang jelas, nuzul al-Quran itu penting untuk diperingati. Sebab dengan momentum Ramadhan yang penuh berkah, al-Quran hadir dengan keberkahan pula. Kalau boleh sih ya mbok diperingati dengan upaya-upaya yang menghasilkan berkah pula, bukan hanya sekadar ribut-ributan di toa Masjid.[]

Tulisan ini pernah diterbitkan di Tarbiyah Islamiyah http://tarbijahislamijah.com/nuzul-quran-di-tengah-ironi-kemanusiaan/

19 Juni 2016

Lebaran Harus Megah

Lebaran itu menyenangkan. Takbir menggema di pelosok kampung. Seperti tahun sebelumnya, bagi saya lebaran tidak jauh berbeda, hanya saja pada lebaran kali ini saya tidak menerima THR (tunjangan hari raya). Tatapan saya terhunus kepada anak-anak yang main kembang api dan pistol-pistolan, kepada kue lebaran dan minuman yang acak dan beraneka rasa, kepada rumah-rumah yang direnovasi, kepada mobil baru yang dibawa perantau pulang kampung, kepada Masjid yang bertambah besar dan megah setiap tahun, dan lain sebagainya. Lebaran itu penuh dengan euforia, tak peduli seberapa besar gocekan yang dikeruk untuk tampil baru dan mewah. Namun di balik itu semua, di bangku perkuliahan inilah yang dinamakan dengan masyarakat komsumtif (consumer society), konsumerisme (consumtivisme) yang dicaci maki oleh para “intelektual”.

Kenapa perasaan dan kenangan itu harus dicaci maki? Apakah hanya karena lebaran itu senantiasa dihiasi dengan budaya konsumtif masyarakat? Tidak hanya saya, barangkali anda juga merasakan hal yang sama bahwa hari raya idul fitri merupakan momentum untuk berpenampilan serba mentereng, baju baru, celana baru, sandal baru, gorden dan cat rumah yang baru, makanan-makanan yang serba enak dan bervariasi, dan lain sebagainya. Singkatnya, lebaran adalah saat dimana budaya konsumtif kita meningkat, atau “saya berganti, maka saya ada”.

Jika demikian, apakah lebaran yang dikombinasi dengan budaya konsumtif itu tidak berbanding lurus dengan prestise taqwa dan kembali fitrah pada saat lebaran? sekalipun fitrahnya hanya menyembul dalam sapaan “minal aidin wal faidzin” yang tidak semua orang tau artinya, yang penting bilang kayak gitu biar idul fitrinya kerasa. Kenapa saya tanyakan demikian? sebab, di saat bersamaaan kita menampakkan kecendrungan “ekstasi” ketika menerima decak kagum dan sorot kecemburuan dari tetangga. Kalau menurut saya, ini justru berbanding terbalik dengan harapan para “ustadz”. Kalau kata ustadz Maulana “Jamaaaaah itu namanya riya”. Karenanya secara otomatis, orang yang mengikuti idul fitri yang dibungkus dengan konsumerisme akut harus berbondong-bondong masuk neraka.

Tapi tunggu dulu, soal masuk neraka atau tidaknya manusia sepertinya bukan urusan kita. Itu urusan kaum otoritarianisme dan Majelis Ulama Indonesia. Hanya saja, jangan-jangan atau mana tau mereka yang dibalut dengan gravitasi ekonomi libido (meminjam kata Jean Baudrillard) lebih memaknai lebaran secara tepat. Lebaran itu sebagai ajang terbuka lebarnya belenggu hawa nafsu yang dikerangkeng selama sebulan. “Setan” pun sudah dilepaskan, maka mesin hawa nafsu harus segera dijalankan, pemaknaan ini meniscayakan budaya konsumtif, apalagi di negeri ini arus libido mengalir tanpa henti seiring dengan produksi kapitalisme, Bukankah zaman modern itu sendiri dapat dibaca sebagai komodifikasi sistematis dari kebutuhan dan keinginan. Artinya kalau di hari lebaran tidak mewah maka anda tidak ada. Apakah salah kalau dengan alasan ini saya katakan bahwa lebaran itu harus megah?

Ini memang pikiran yang salah. Salah ketika logika yang dipakai adalah relasi antara agama dan budaya konsumtif berbanding terbalik. Agama itu harus sederhana, melarat, miskin, tertindas oleh yang punya alat produksi atau pemilik modal. Akan lebih salah lagi kalau menyorot budaya konsumtif dengan kaca mata zuhud. Singkatnya jika beragama tidak boleh mewah maka logika ini memang salah. Bukan bermaksud untuk memaksakan kehendak, hanya saja dalam tulisan ini saya ingin sedikit bernegosiasi dengan tuan-tuan dan puan-puan yang menganggap saya salah.

Untuk melihat lebih luas saya ingin mengemukakan beberapa contoh. Di kalangan umat Islam sendiri mulai marak industri yang menawarkan wisata religius dan paket spritualisme seperti umrah bersama kiai beken, menjamurnya pertokoan “Ekslusif Fashion Show”, munculnya iklan yang memanfaatkan sensibilitas keagamaan untuk memasarkan produk seperti jilbab, kerudung, baju koko, gamis dengan berbagai model pola dan corak. Sampai iklan makanan dan obat-obatan yang bintang iklannya adalah Opick, Mama Dedeh atau ikon maupun simbol agama lainnya. Apalagi ketika bulan Ramadhan sampai-sampai iklan shampo pun bintang iklannya berkerudung, aneh kan? Jangan-jangan nanti iklan celana dalam juga memakai simbol agama (Untuk yang satu ini jangan dibayangkan). Jadi, saya memahami evolusi budaya konsumsi memang tidak dapat dipisahkan dari tumbuhnya kematangan sistem perkembangan komoditas yang digunakan dalam industrialisasi kapitalisme (yang sampai saat ini belum ada penawarnya).

Oleh sebab itu, menurut saya dalam konteks ini tidak ada gunanya menyalahkan budaya konsumsi. Sebab konsumsi (consumption) itu telah mengisi seluruh ruang dan relung kehidupan manusia. Bukankah konsumsi (consumption) itu terhampar luas dalam praktek, mental, dan perasaan manusia, seperti mendapatkan, menggunakan, menampilkan, merawat, mengoleksi, menghabiskan, hasrat, fantasi dan lain sebagainya. Meskipun semua itu meniscayakan candu yang kemudian memaksa kita menjadi masyarakat konsumsi, tapi setidaknya dengan momentum lebaran biarkan rakyat miskin merasa dan bersandiwara untuk tampil megah, agar mereka dapat mengekspresikan kecintaan mereka terhadap agama dengan segenap cita rasa yang haru biru. Bagi sebagian orang berhari raya bukan soal ada atau tidaknya uang, namun soal percaya diri, status, atau eksistensi diri. Dari sudut ini saya melihat lebaran adalah representasi bahwa manusia tidak ingin merasa tidak berada (non-being) atau lebih tepatnya manusia tidak ingin merasa “mati”.

Karena aroma lebaran masih terasa, mari kita tukikkan pandangan dekat dan kita layangkan pandangan jauh, lihatlah sisa-sisa kegembiraan itu, atau barangkali masih segar dalam ingatan kita seperti apa masyarakat di hari pertama lebaran. Kira-kira cukupkah kita beranggapan bahwa mereka adalah masyarakat yang terlena, berhalusinasi, ekstasi, dan dibuai oleh indahnya dunia yang fana? Coba bayangkan jika lebaran itu adem ayem saja, pastinya lebaran terasa hampa dan hambar, dan saya pasti akan mengusulkan bagi perantau tidak usah saja pulang kampung kalau lebaran datang -meski hanya untuk pamer kekayaan-. Toh, tidak ada yang istimewa dengan lebaran.

Jadi cara berpikir dan sikap seperti apa yang harus dikemukakan untuk menanggapi realitas lebaran yang mesti megah tersebut. Menyalahkan? Mencaci-maki? Jika iya, monggo! Sekalian caci-maki juga masjid-masjid yang dihiasi dengan ukiran dan kaligrafi yang indah seperti Masjid raya Sumatera Barat atau nanggung caci-maki aja tuh sekalian Makkah yang bagi sebagian orang telah menjadi destinasi wisata karena memang Makkah itu megah, atau sebaliknya sebenarnya beragama itu memang harus megah, dandy, berlagak, dan bergaya. Apalagi hari ini kebangkitan agama telah mengambang di level simbolik, di kalangan tertentu semangat keagamaan itu harus  dipahami sebagai kebangkitan gaya hidup.

Jika anda tidak sepakat, baiklah -karena ini bukan pemaksaan melainkan hanya negosiasi- mari kita caci-maki hari raya keagamaan kita, karena hari raya keagamaan kita tak ubahnya semacam “festival konsumsi”.[]

Tulisan ini pernah diterbitkan di web Tarbiyah Islamiyah. http://tarbijahislamijah.com/lebaran-harus-megah/

2 Juni 2016

Zammiluny

Ku terjaga dan kali ini ku muak.
Di luar hujan menyerbu keheningan, rintiknya mengalir di dingin tubuhku.
Hingga, gigil keparat ini pun tak mampu kutanggulangi.
Bagaimana resah bisa retak dalam sesaat?

Hujan? Jangan-jangan kau yang salah.
Kau benar-benar tak paham dengan suara yang terlipat.
Terlipat dalam derasmu.
Tak ada yang mendengar, tak ada yang peduli.
Teriak pun belum tentu berguna.

Atau mungkin selimut lain.
Ya, selimut yang terbuat dari seribu satu beledu.
Bukan sarung tua lusuh yang kau tenteng kemana-mana.
Biar getir redam, biar dingin terselubungi.

Atau, atau, atau.
Ah, Apa guna kau membatin.
Jika salah bukan milik hujan dan selimut. 
Kau hanya butuh pelenyap. Pelenyap segala cemas.

Zammiluny, Zammiluny! Muhammad menyeru pada Khadijah.


Yogyakarta, 31 Mei 2016

26 Mei 2016

Ceramah Untuk Ceramah

Ceramah agama dan Ramadhan itu layaknya suami istri, bisakah dibayangkan kalau di bulan Ramadhan ceramah agama itu tidak ada? Ya bisa, contohnya saya. Waktu kecil di malam Ramadhan saya tidak pergi ke masjid yang dipenuhi  jadwal ceramah agama, tapi ke surau yang tarawihnya dua puluh rakaat –meskipun saya pernah ketiduran saat sholat, apesnya kesialan itu terjadi ketika sujud- jadi, bagi saya saat itu Ramadhan hanya dua saja; puasa dan tarawih, tidak ada ceramah.

Sementara hari ini ceramah agama dan bulan suci Ramadhan adalah keniscayaan. Saya juga tidak tahu kenapa. Barangkali karena ceramah agama merupakan instrumen penting, misalnya untuk memberi pencerdasan bagi masyarakat, momen bagi para “ustadz” yang cuma butuh satu judul ceramah untuk tiga puluh hari (yang tentunya di masjid yang berbeda), atau buat bahan ketawa-ketawa, atau ngantuk-ngantukan sebelum sholat Tarawih dimulai. Apapun itu yang jelas ceramah agama itu penting di bulan Ramadhan, dan tak dapat ditawar-tawar lagi. Kapan perlu di setiap waktu sholat.

Karenanya, tidak boleh menyalahkan keberadaannya, apalagi di tengah-tengah realitas sosial yang semakin banal. Pada dasarnya da’wah sangat dibutuhkan, bahkan dari sono-nya Rasulullah SAW telah menyampaikan, “ballighu ‘anniy walau aayah!!”. Sampaikanlah walau satu ayat. Tapi barangkali tidak cukup sampai di sana. Pertanyaannya kemudian adalah "apa yang mau disampaikan?". Dakwah seperti apa yang akan dijejalkan kepada masyarakat seiring berkembangnya realitas? Jika saya dihadapkan kepada pertanyaan seperti ini -seandainya saya sebagai “ustadz”-saya pasti akan terpetai-petai (kewalahan) menjawabnya, sebab bagi saya ceramah agama itu tidak sesederhana “otalapau” atau barangkali karena saya bukan pakar ceramah seperti Mama Dedeh, ustadz Maulana, ustadz Solmed, dan ustadz Guntur Bumi, maupun “televeangelis” lainnya yang senantiasa tampil sempurna di layar kaca.

Baiklah, terus terang tulisan ini sebenarnya berangkat dari kegelisahan pribadi saya terhadap pola ceramah itu sendiri. Dalam hal ini, saya sangat sepakat dengan apa yang disampaikan Gus Mus di media Tempo. Ceramah agama itu tak cukup dengan tahu sepenggal ayat lalu dijelaskan melalui mimbar. Ujuk-ujuk sudah menjadi ustadz. Lho, ustadz kok tiba-tiba? Tiba-tiba memakai surban. Tiba-tiba berjenggot. Tiba-tiba mendapat gelar ulama, ustadz atau syeikh. Tampil sekali di televisi, tiba-tiba menjadi ulama. Anggota MUI tiba-tiba jadi ulama, padahal cuma sekretaris yang duduk di struktural kepengurusan, dan “tiba-tiba” yang lain.

Menjadi penceramah tidaklah mudah. Satu hal yang sepertinya kita sepakati adalah bahwa penceramah mesti memiliki kompetensi. Kompetensi di sini tidak perlu juga serupa dengan kompetensi guru dan dosen seperti yang tertera pada UU No.1 tahun 2004 yang sangat rumit itu, atau memiliki kompetensi seperti seorang peneliti yang paham dengan teori dan metodologi karena tidak mungkin juga seluruh masyarakat paham kalau teori itu disampaikan, justru mumet. Tapi setidaknya penceramah mesti paham dengan apa yang dibutuhkan terkait kondisi dan masalah masyarakat. Bahkan saya sempat berpikir, sebelum ceramah seorang pencemarah harus analisis sosial terlebih dahulu, konsekuensinya di setiap masjid berarti ceramahnya harus beda.

Menurut saya Ramadhan itu adalah momen berharga, dimana masyarakat pada umumnya berangkat ke masjid, meskipun hanya ramainya pada awal Ramadhan dan ujung-ujungnya tinggal imam, muazin, dan dan tiang masjid. Tapi justru disana momentum bagi para penceramah untuk menyampaikan sesuatu yang berharga juga bagi masyarakat. Sayang sekali, seandainya momentum ini hanya digunakan untuk menyampaikan kewajiban puasa, rukun puasa, atau syarat sah puasa. Setiap Ramadhan hampir setiap penceramah menguraikan sedemikian rupa surat al-Baqarah ayat 183 di sepuluh malam pertama Ramadhan. Padahal, ayat yang satu ini senantiasa disampaikan setiap tahun, dan sepertinya jamaah tarawih pun sudah hafal semua. Nah, kalau udah ke ujung-ujung puasa yang jamaahnya tinggal satu atau dua orang saja, barulah isi ceramahnya banting stir dari soal puasa.

Apakah ceramah agama di setiap bulan Ramadhan mesti seperti itu? Saya khawatir ceramah agama hanya menjadi formalitas belaka, ceramah itu hanya untuk ceramah, bukan ceramah untuk sesuatu. Guru saya juga pernah mengatakan membaca buku itu jangan untuk membaca, tapi membacalah untuk menulis. Kalau membaca untuk membaca sering hilang, gak nyangkut di kepala. Tapi kalau untuk menulis cepat ingatnya, atau setidaknya tulisan itu menjadi karya. Jadi, kalau ceramah untuk sesuatu mestinya ceramah lebih bisa dikembangkan, kemudian penceramah dapat dinobatkan sebagai penceramah yang berkarya, bukan hanya menjadi penceramah yang populis.

Sebenarnya saya yakin dan percaya kalau penceramah yang telah memiliki banyak jam terbang, mampu melakukan dakwah dengan metode yang baik. Dengan bekal itu sebenarnya mereka telah memiliki kompetensi dalam mengelola ceramah, dapat membuat jamaah tidak ngantuk, dan sekali-sekali diselingi dengan guyonan yang membuat suasana ceramah semakin mengasyikkan. Apalagi ustadznya tampan dan muda, bisa-bisa diambil jadi menantu oleh jamaah. Karenanya, pada bagian ini tidak ada persoalan yang begitu mencolok untuk kita bahas lebih lanjut. Perlu diakui, tidak mudah untuk membuat jamaah betah dengan apa yang disampaikan. Hanya saja alangkah lebih baik jika setelah ceramah usai apa yang disampaikan tidak usai.

Sekali lagi ceramah itu penting, tetap penting. Jika ada yang mengatakan, ceramah agama itu tidak ada signifikansinya, barangkali dia bukan sarjana dakwah, kemungkinan besar sarjana filsafat. Disini yang menjadi masalah adalah oknum penceramahnya, bukan ceramahnya.

Oleh sebab itu, jika ada kalangan yang akan mendedikasikan dirinya secara tulus dan ikhlas untuk membangun masyarakat melalui ceramah, agaknya perlu sedikit banyaknya mempertanyakan kembali, ceramah itu untuk apa?

Sebagai penutup kata, tulisan ini sebenarnya bukan untuk ceramah. Jika tulisan ini berbau kedegilan. Tidak apa-apa, anggap saja saya sedang berharap menjadi seperti Jose Mourinho (meski saya benci dia), Andre Villas-boas, Arsene Wenger, atau ArrigoSacchi yang tak pandai main bola, tapi pintar strategi dan taktik bermain bola. Ya, ga masalah, yang menjadi masalah sepertinya pemain bola yang tidak paham taktik bola. Striker itu fungsinya untuk mencetak gol bukan menjaga gawang. Nah, kalau menjadi penceramah itu, untuk apa? []

Tulisan ini pernah diterbitkan di http://tarbijahislamijah.com/ceramah-untuk-ceramah/