19 Juni 2016

Lebaran Harus Megah

Lebaran itu menyenangkan. Takbir menggema di pelosok kampung. Seperti tahun sebelumnya, bagi saya lebaran tidak jauh berbeda, hanya saja pada lebaran kali ini saya tidak menerima THR (tunjangan hari raya). Tatapan saya terhunus kepada anak-anak yang main kembang api dan pistol-pistolan, kepada kue lebaran dan minuman yang acak dan beraneka rasa, kepada rumah-rumah yang direnovasi, kepada mobil baru yang dibawa perantau pulang kampung, kepada Masjid yang bertambah besar dan megah setiap tahun, dan lain sebagainya. Lebaran itu penuh dengan euforia, tak peduli seberapa besar gocekan yang dikeruk untuk tampil baru dan mewah. Namun di balik itu semua, di bangku perkuliahan inilah yang dinamakan dengan masyarakat komsumtif (consumer society), konsumerisme (consumtivisme) yang dicaci maki oleh para “intelektual”.

Kenapa perasaan dan kenangan itu harus dicaci maki? Apakah hanya karena lebaran itu senantiasa dihiasi dengan budaya konsumtif masyarakat? Tidak hanya saya, barangkali anda juga merasakan hal yang sama bahwa hari raya idul fitri merupakan momentum untuk berpenampilan serba mentereng, baju baru, celana baru, sandal baru, gorden dan cat rumah yang baru, makanan-makanan yang serba enak dan bervariasi, dan lain sebagainya. Singkatnya, lebaran adalah saat dimana budaya konsumtif kita meningkat, atau “saya berganti, maka saya ada”.

Jika demikian, apakah lebaran yang dikombinasi dengan budaya konsumtif itu tidak berbanding lurus dengan prestise taqwa dan kembali fitrah pada saat lebaran? sekalipun fitrahnya hanya menyembul dalam sapaan “minal aidin wal faidzin” yang tidak semua orang tau artinya, yang penting bilang kayak gitu biar idul fitrinya kerasa. Kenapa saya tanyakan demikian? sebab, di saat bersamaaan kita menampakkan kecendrungan “ekstasi” ketika menerima decak kagum dan sorot kecemburuan dari tetangga. Kalau menurut saya, ini justru berbanding terbalik dengan harapan para “ustadz”. Kalau kata ustadz Maulana “Jamaaaaah itu namanya riya”. Karenanya secara otomatis, orang yang mengikuti idul fitri yang dibungkus dengan konsumerisme akut harus berbondong-bondong masuk neraka.

Tapi tunggu dulu, soal masuk neraka atau tidaknya manusia sepertinya bukan urusan kita. Itu urusan kaum otoritarianisme dan Majelis Ulama Indonesia. Hanya saja, jangan-jangan atau mana tau mereka yang dibalut dengan gravitasi ekonomi libido (meminjam kata Jean Baudrillard) lebih memaknai lebaran secara tepat. Lebaran itu sebagai ajang terbuka lebarnya belenggu hawa nafsu yang dikerangkeng selama sebulan. “Setan” pun sudah dilepaskan, maka mesin hawa nafsu harus segera dijalankan, pemaknaan ini meniscayakan budaya konsumtif, apalagi di negeri ini arus libido mengalir tanpa henti seiring dengan produksi kapitalisme, Bukankah zaman modern itu sendiri dapat dibaca sebagai komodifikasi sistematis dari kebutuhan dan keinginan. Artinya kalau di hari lebaran tidak mewah maka anda tidak ada. Apakah salah kalau dengan alasan ini saya katakan bahwa lebaran itu harus megah?

Ini memang pikiran yang salah. Salah ketika logika yang dipakai adalah relasi antara agama dan budaya konsumtif berbanding terbalik. Agama itu harus sederhana, melarat, miskin, tertindas oleh yang punya alat produksi atau pemilik modal. Akan lebih salah lagi kalau menyorot budaya konsumtif dengan kaca mata zuhud. Singkatnya jika beragama tidak boleh mewah maka logika ini memang salah. Bukan bermaksud untuk memaksakan kehendak, hanya saja dalam tulisan ini saya ingin sedikit bernegosiasi dengan tuan-tuan dan puan-puan yang menganggap saya salah.

Untuk melihat lebih luas saya ingin mengemukakan beberapa contoh. Di kalangan umat Islam sendiri mulai marak industri yang menawarkan wisata religius dan paket spritualisme seperti umrah bersama kiai beken, menjamurnya pertokoan “Ekslusif Fashion Show”, munculnya iklan yang memanfaatkan sensibilitas keagamaan untuk memasarkan produk seperti jilbab, kerudung, baju koko, gamis dengan berbagai model pola dan corak. Sampai iklan makanan dan obat-obatan yang bintang iklannya adalah Opick, Mama Dedeh atau ikon maupun simbol agama lainnya. Apalagi ketika bulan Ramadhan sampai-sampai iklan shampo pun bintang iklannya berkerudung, aneh kan? Jangan-jangan nanti iklan celana dalam juga memakai simbol agama (Untuk yang satu ini jangan dibayangkan). Jadi, saya memahami evolusi budaya konsumsi memang tidak dapat dipisahkan dari tumbuhnya kematangan sistem perkembangan komoditas yang digunakan dalam industrialisasi kapitalisme (yang sampai saat ini belum ada penawarnya).

Oleh sebab itu, menurut saya dalam konteks ini tidak ada gunanya menyalahkan budaya konsumsi. Sebab konsumsi (consumption) itu telah mengisi seluruh ruang dan relung kehidupan manusia. Bukankah konsumsi (consumption) itu terhampar luas dalam praktek, mental, dan perasaan manusia, seperti mendapatkan, menggunakan, menampilkan, merawat, mengoleksi, menghabiskan, hasrat, fantasi dan lain sebagainya. Meskipun semua itu meniscayakan candu yang kemudian memaksa kita menjadi masyarakat konsumsi, tapi setidaknya dengan momentum lebaran biarkan rakyat miskin merasa dan bersandiwara untuk tampil megah, agar mereka dapat mengekspresikan kecintaan mereka terhadap agama dengan segenap cita rasa yang haru biru. Bagi sebagian orang berhari raya bukan soal ada atau tidaknya uang, namun soal percaya diri, status, atau eksistensi diri. Dari sudut ini saya melihat lebaran adalah representasi bahwa manusia tidak ingin merasa tidak berada (non-being) atau lebih tepatnya manusia tidak ingin merasa “mati”.

Karena aroma lebaran masih terasa, mari kita tukikkan pandangan dekat dan kita layangkan pandangan jauh, lihatlah sisa-sisa kegembiraan itu, atau barangkali masih segar dalam ingatan kita seperti apa masyarakat di hari pertama lebaran. Kira-kira cukupkah kita beranggapan bahwa mereka adalah masyarakat yang terlena, berhalusinasi, ekstasi, dan dibuai oleh indahnya dunia yang fana? Coba bayangkan jika lebaran itu adem ayem saja, pastinya lebaran terasa hampa dan hambar, dan saya pasti akan mengusulkan bagi perantau tidak usah saja pulang kampung kalau lebaran datang -meski hanya untuk pamer kekayaan-. Toh, tidak ada yang istimewa dengan lebaran.

Jadi cara berpikir dan sikap seperti apa yang harus dikemukakan untuk menanggapi realitas lebaran yang mesti megah tersebut. Menyalahkan? Mencaci-maki? Jika iya, monggo! Sekalian caci-maki juga masjid-masjid yang dihiasi dengan ukiran dan kaligrafi yang indah seperti Masjid raya Sumatera Barat atau nanggung caci-maki aja tuh sekalian Makkah yang bagi sebagian orang telah menjadi destinasi wisata karena memang Makkah itu megah, atau sebaliknya sebenarnya beragama itu memang harus megah, dandy, berlagak, dan bergaya. Apalagi hari ini kebangkitan agama telah mengambang di level simbolik, di kalangan tertentu semangat keagamaan itu harus  dipahami sebagai kebangkitan gaya hidup.

Jika anda tidak sepakat, baiklah -karena ini bukan pemaksaan melainkan hanya negosiasi- mari kita caci-maki hari raya keagamaan kita, karena hari raya keagamaan kita tak ubahnya semacam “festival konsumsi”.[]

Tulisan ini pernah diterbitkan di web Tarbiyah Islamiyah. http://tarbijahislamijah.com/lebaran-harus-megah/

Related Articles