Kita Hanyalah Pendusta yang Memaksa Percaya pada Tuhan
Beberapa hari ini wall facebook saya dipenuhi dengan
instruksi pengulangan syahadat. “Jika nonton film Uttaran, maka syahadat anda
mesti diulang”. Hahahanciang. Bukan karena postingan ini santer disebarkan oleh
media yang ada Islam-Islamnya. Bukan juga karena saya pro terhadap Uttaran,
nengoknya saja saya malas. Namun, ini soal Iman yang telah dipahami secara
pandir.
Saya kira, kita sudah cukup lelah dengan isu Ahok.
Karena Ahok, tiba-tiba banyak saja orang yang beriman. Maksud saya, isu politis
harus dikaitkan dengan Iman.
Begini loh mas bro! Waktu boker tadi pagi, saya mikir. –Ini
memang kebiasaan saya- mikir di “kamar bermenung”. Kali ini perenungan saya
membuahkan hasil, gak kayak biasanya. Mulai dari latar belakang, rumusan
masalah, pendekatan dan kesimpulan soal iman dan hal di luar iman. Jangan
bayangkan berapa lama saya di sana. Kita fokus saja kepada kesimpulan.
Jika saja keimanan selalu dikaitkan dengan segala hal,
maka tunggulah kehancuran! “Fantazhir al-sa’ah”! Menghancurkan diri
sendiri, dan ketika diposting di media sosial berarti ikut menghancurkan orang
lain. Mengapa? Jawabannya sih sesederhana buang dahak. Menyebarkan Kebebalan.
Sebab, keimanan bukanlah kambing hitam. Keimanan
adalah keyakinan bukan keragu- raguan. Masa sih, baru nonton film aja, tuan dan
puan sudah ragu dengan keimanan sendiri? Baru liat Ahok aja yang kebayang
langsung “ka-fa-ra-“ di kening Dajjal. Piye to?
Bukan, saya bukan mengatakan bahwa “keimanan” adalah
variabel yang mesti dikesampingkan. Saya pikir siapa saja sepakat bahwa
keimanan adalah ciri komitmen keagamaan. Keimanan bukan label, Keimanan bukan
ragu. Jika ragu, maka kita hanyalah pendusta yang memaksa percaya pada Tuhan.[]